Lamung Pitue, Menyatukan Elit
Kontestasi politik tanah air kian memanas. Fenomena ini tentunya membuat banyak pihak merasa khawatir dan menyayangkan gencarnya serangan berbau provokatif antar sesama anak bangsa. Mendekati masa-masa pencoblosan, baik petahana maupun oposisi begitu masif berkampanye lewat berbagai media. Dari tataran elit hingga masyarakat akar rumput dikampung-kampung dan desa-desa ikut terlibat dalam kontestasi ini. Bahkan tidak jarang dalam satu keluarga yang beda pilihan juga ikut saling bertarung menjagokan pilihannya masing-masing. Banyak diantara mereka yang baku bombe akibat beda pilihan.
Ruang demokrasi kita nampaknya begitu memanas dengan mesin kampanye yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Gerakan politik tidak lagi terbatas pada partai politik, akan tetapi telah melibatkan individu dan kelompok-kelompok masyarakat secara spontanitas dan kolektif. Demokrasi langsung yang digunakan sejak tahun 2004 sampai hari ini secara nyata telah merubah tatanan perpolitikan tanah air. Apalagi diera digital hari ini kian memperlebar ruang keterlibatan masyarakat dalam proses politik. Saling serang lewat transmisi media social adalah hal yang harus diterima sebagai “kewajaran” dalam berdemokrasi kita. Berbagai regulasi serta aparat penyelenggara Pemilu yang diberi amanah bekerja secara independen terkesan tak mampu menghadang nafsu saling serang antar pendukung. Serangan-serangan kelompok, delusi-delusi dan patologi-patologi kelompok nampak terang benderang adanya.
Partisipasi masyarakat dalam proses politik yang cenderung melupakan budaya sipakatau tentunya harus dihentikan. Meredakan ketegangan dalam skala nasional dapat dilakukan terlebih dahulu disetiap daerah. Masing-masing elit dan kepala daerah harus terlibat aktif memberikan pencerahan kepada setiap warganya. Kita meyakini bahwa setiap daerah memiliki kearifan local yang dapat menjadi katalisator perjalanan demokrasi bangsa ini. Pertarungan para elit daerah sudah terjadi sejak puluhan tahun sebelumnya, bahkan sejak zaman kerajaan. Namun persaingan dan komunikasi poltik yang ada ternyata tidak melupakan norma dan nilai kesopanan serta mengedepankan perinsip kekeluargaan.
Para elit daerah hari ini, seharusnya belajar kerendahan hati para raja-raja terdahulu dalam membangun hegemoni dan kekuasaanya. Di sulawesi Selatan, bukti kebesaran dan kerendahan hati para raja dapat dengan jelas terbaca lewat sejarah. Pertikaian dua kerajaan besar ditahun 1564 yakni kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa dalam memperebutkan pucuk kekuasaan berakhir damai dibawah perjanjian Topekkong. Perjanjian ini digagas oleh raja bulo-bulo VI La Mappasokko Lao Manoe Tanrunna. Raja gowa yang diwakili oleh I Mangerangi daeng Mammeta dan La Tenri Rawe Bongkange dari kerjaan Bone dengan kebesaran hatinya bersepakat untuk mengedepankan kemeslahatan bangsa yang isinya berbunyi:
Madumme to sipalalo, Mabelle to Siparoso, Seddi Pabbanua pada rappunnai Lempa asefa mappanessa
Musunna Gowa musunna to Bone na Tellulimpoe, Makkutopi assibalirenna
Sisappareng deceng teng sisappareng ja’, Sirui menre teng sirui no’Malilu sipakainge mali siparappe
Artinya :
Saling mengizinkan dalam mencari tempat bernaung, saling memberi kesempatan dalam mencari ikan, satu rakyat milik kita semua, kemanalah padinya dibawa itulah yang menentukan kerajaan mana yang dipilihnya
Musuh Kerajaan Gowa juga musuh Kerajaan Bone dan Tellulimpoe, demikian pula sebaliknya
Saling memberikan kebaikan bukan kejahatan, Saling bantu membantu tidak saling mencelakakan, yang lupa diri diingatkan, yang hanyut diselamatkan.
Perjanjian ini juga lebih dikenal dengan nama Lamung pitue ritopekkong. Disebut lamung pitue ritopekkong karena perdamaian ini dilakukan dengan upacara penanaman batu besar, bagian batu yang dikuburkan di dalam tanah disebut sebagai simbol dikuburkannya sikap keras yang merugikan semua pihak kerajaan, sedangkan bagian batu yang muncul sebagai simbol persatuan yang tidak mudah bergeser.
Perjanjian ini tidak lahir begitu saja tanpa kebesaran dan kerendahan hati para elit saat itu. Ambisi untuk menguasai satu sama lain kemudian direduksi dalam suatu semangat bersama untuk tetap menjaga persatuan. Saling memberikan kebaikan bukan kejahatan, yang lupa diri diingatkan adalah sepenggal dari beberapa poin dari perjanjian yang sarat akan makna. Kontestasi politik yang begitu keras terkadang membuat ucapan dan tingkah laku kita melampaui batas etika pergaulan. Pesan yang berseliweran dimedia sosial bukan lagi pesan kebaikan, jauh dari pesan sipakatau sipakalebbi, tetapi sebaliknya pesan yang keluar mengarah kepada terciptanya keresahan sosial ditengah masyarakat.
Batu lamung pitue yang tertanam sebagai simbol persatuan, setidaknya tetap memberikan pesan kepada para elit untuk berkaca pada para leluhur akan betapa pentingnya menjaga asseddi seddingeng. Bagaimanapun, politik itu hanyalah jalan dimana tujuannya adalah kesejahteraan bersama. Pemahaman local wisdom semacam ini harus senantiasa terus diwacanakan dan digalakkan terutama di daerah kita tercinta, Sulawesi Selatan. Kita tentunya mengharapkan suri tauladan dari para elit agar mampu menjadi penengah, tidak berat sebelah. Jika setiap daerah mampu menunjukkan gairah politik yang berakar pada karakter dan kearifan lokal, maka bukan tidak mungkin dari sinilah awal mula lahirnya demokrasi yang sesuai dengan falsafah dan dasar negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Proses politik yang berkorelasi dengan entitas kultural sudah terbukti dapat menyatukan elit raja-raja terdahulu. Legitimasi kekuasaan dilahirkan atas dasar nilai dan dan digunakan untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita masyarakat.