SIDIC Sebagai Upaya Mengatasi Krisis Karakter Pelajar di Indonesia
Pendahuluan
Ki
Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang
pengertian pendidikan, yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak,
adapun maksudnya, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu
agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan
dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Sejalan dengan hal tersebut, UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 menguraikan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar pelajar secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Namun sangat
disayangkan kenyataannya, karakter para pelajar di Indonesia masih berada pada
fase krisis yang membuat hati miris.
Baru
saja kita memasuki perhitungan tahun masehi 2023. Namun betapa terkejutnya,
masyarakat dihebohkan dengan peristiwa yang membuat hati teriris. Dua orang
pelajar di Kota Makassar melakukan penculikan dan pembunuhan berencana dengan
motif penjualan organ (Kompas.TV). Lalu muncullah pertanyaan, mengapa mereka
melakukan perbuatan tersebut? Teknologi ternyata bagai mata pisau yang bisa
memudahkan pekerjaan manusia, namun juga bisa menjerumuskan manusia. Dengan
akses internet yang mudah, kita dapat melihat permasalahan yang terjadi pada
pelajar di Indonesia. Belakangan ini, kita banyak melihat kasus seperti bullying
oleh pelajar, kasus pemerkosaan, hamil di luar nikah, narkoba, tawuran, dan lain-lainnya.
Lantas jika sudah seperti ini keadannya, bagaimana dengan jaminan keselamatan
dan kebahagiaan pelajar seperti yang digaungkan oleh Bapak Pendidikan
kita? Siapa yang akan bertanggung jawab?
Pelajar
hanyalah seorang anak. Hal tersebut jelas tertuang dalam undang-undang nomor 23
tahun 2002 pasal 1 bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia (18) tahun.
Hal ini sejalan dengan pendapat Koesnan (2005) yang mengemukakan bahwa
anak-anak yaitu manusia muda dalam umur muda dan jiwa dan perjalan hidupnya
karna mudah terpengaruh keadaan sekitarnya. Oleh sebab itu, pelajar dikategorikan
sebagai anak sangatlah membutuhkan pendampingan dari orang dewasa. Dalam hal
ini, orang tua atau keluarga, pendidik dan tenaga Pendidikan, dan pemerintah.
Isi
Tidak
bisa dipungkiri bahwa pelajar banyak menghabiskan waktunya di sekolah. Oleh
sebab itu, penting sekali sekolah membuat program yang dapat membentuk karakter
pelajar menjadi lebih baik. Sebagai solusi kami menawarkan penguatan karakter
SIDIC untuk diterapkan di sekolah-sekolah, khususnya di Kota Makassar. SIDIC
merupakan singkatan dari Smart, Islamic, Discipline, Innovative, Competitive.
Smart.
Smart berarti cerdas. Cerdas bukan hanya dalam hal kognisi atau
pengetahuan melainkan juga cerdas dalam bertingkah laku. Pelajar yang cerdas
adalah pelajar yang mampu menempatkan diri dalam segala aspek kehidupan. Pelajar
yang cerdas juga mampu berpikir kritis dan mampu mempertimbangkan sebab akibat
dari perbuatannya. Pada kasus penculikan anak yang baru saja terjadi, anak (pelaku)
tersebut tidak memiliki pengetahuan yang luas dan tidak mampu berpikir kritis
sehingga informasi yang ia dapatkan dari media sosial ditelan mentah-mentah
tanpa memikirkan apakah benar dengan menjual organ bisa mendatangkan keuntungan
finansial dengan mudah? Mereka bahkan tidak memikirkan bagaimana cara
mengeluarkan organ-organ tersebut. Lebih parahnya lagi, bisa saja mereka tidak
tahu organ-organ apa saja yang ada didalam tubuh manusia. Oleh sebab itu,
program Gerakan Literasi Pelajar (GLS) sangat dibutuhkan untuk membentuk
karakter Smart di kalangan pelajar. Banyak baca, banyak tahu.
Islamic.
Islamic atau religius adalah pondasi dasar bagi manusia untuk menentukan
hal baik dan hal buruk dalam kehidupannya. Di Indonesia, tidak ada agama satu
pun yang mengajarkan umatnya untuk melakukan keburukan. Pelajar yang beragama
adalah pelajar yang meyakini akan adanya Tuhan. Dengan menyakini Tuhan, pelajar
akan merasa bahwa perbuatannya selalu diawasi. Dengan demikian, mereka akan
taat melakukan ibadah, misalnya salat lima waktu. Salat lima waktu dapat
mencegah kita melakukan perbuatan keji dan mungkar. Di sekolah, pelajar
diberikan penguatan untuk lebih dekat dengan Tuhannya dengan cara salat
berjamaah, kajian, dan tahfiz Al-Qur’an. Pelajar yang dalam dirinya telah
tertanam keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. (Tuhannya) akan senantiasa
terjaga dari perbuatan-perbuatan yang buruk.
Discipline.
Menurut Suharsimi Arikunto, disiplin adalah
sebuah kepatuhan yang ada dalam diri seseorang yang secara sadar dan tanpa
adanya paksaan, untuk menjalankan aturan maupun tata tertib yang ada. Pelajar
yang disiplin terbiasa dalam melaksanakan aturan-aturan terkecil hingga
aturan-aturan yang besar. Aturan terkecil mulai dari disiplin terhadap diri
sebagai seorang pelajar misalnya, mematuhi aturan-aturan yang diterapkan di sekolah.
Dalam lingkup yang lebih luas, pelajar mampu mematuhi aturan berbangsa dan
bernegara serta beragama. Aturan-aturan seperti datang tepat waktu,
mengumpulkan tugas tepat waktu, berpakaian sesuai aturan, bertingkah laku yang
sopan, dan bertutur kata yang santun bisa membuat pelajar mampu mengendalikan
diri demi terciptanya keteraturan sebagai tujuan utama dari karakter disiplin.
Innovative.
Salah satu motif pelajar melakukan kegiatan yang tidak benar adalah karena
banyaknya waktu luang yang tidak digunakan dengan baik. Oleh sebab itu, kegiatan-kegiatan
inovatif sangat dibutuhkan agar pelajar memiliki jiwa pencipta yang menjadi
solusi bagi permasalahan-permasalan yang ada di sekitarnya. Kegiatan proyek, baik
individu maupun kelompok, proyek jangka pendek maupun jangka panjang, hingga
yang terbaru adalah proyek Pancasila menjadi solusi bagi pelajar untuk
berkreasi dan menfaatkan waktu luangnya. Pelatihan digital creative seperti desain
grafis, photografi, videografi, akan membuat pelajar mampu beradaptasi di era
digital dan tidak menjadi generasi yang kaget akan teknologi.
Competitive.
Kemampuan pelajar untuk berkompetisi dengan dirinya sendiri adalah hal yang
paling utama. Dengan demikian, pelajar akan lebih terpacu untuk mengembangkan
potensi dirinya menjadi lebih baik. Kompetisi juga bisa menjadi ajang bagi pejalar
untuk tampil berekspresi dan mengeluarkan segala kemampuan yang dimiliki.
Dengan mengikutkan pelajar dalam kompetisi internal maupun eksternal sekolah pelajar
akan merasa diapresiasi dan diberikan ruang yang benar sehingga ia tidak perlu
menunjukan eksistensinya dengan cara yang salah seperti tawuran, perundungan,
merokok, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya.
Simpulan
Pelajar
adalah seorang anak yang masih membutuhkan pendampingan oleh orang dewasa.
Terlepas Ia sebagai korban ataupun pelaku kejahatan, pada dasarnya pelajar
tersebut hanyalah korban dari kesalahan penanganan yang dilakukan oleh orang
dewasa dalam hal ini, orang tua/keluarga, pendidik, ataupun pemerintah. Semoga
dengan penguatan karakter SIDIC, krisis karakter pelajar di Indonesia dapat
mengalami perbaikan. Dengan demikian, keselamatan dan kebahagiaan
para pelajar sebagai generasi penerus bangsa dapatlah terjamin.
Daftar
Pustaka:
Koesnan, RA. 2005. Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia.
Bandung: Sumur.
Comments (2)