Gambar : Muhammad Andrio Fauzi, Siswa Kelas 11 SMA Bosowa School Makassar

Menjemput Cahaya di Ujung Senja

Pagi itu, matahari terbit di desa kecil Jawa Tengah yang asri. Suara ayam berkokok membangunkan para penghuni desa. Rania, seorang guru SD berusia 28 tahun, sudah bangun lebih awal dari biasanya. Ia duduk di beranda rumahnya, menatap sawah yang luas. Udara pagi yang sejuk membuatnya merasa lebih hidup.

Setiap hari, Rania berjalan kaki ke sekolah melewati sawah dan kebun. Ia mengenakan kebaya sederhana dan kain batik, dengan senyum manis yang selalu menghiasi wajahnya

“Rania, jangan lupa sarapan dulu!” suara neneknya, Bu Sari, terdengar dari dalam rumah. Meskipun sudah tua, Bu Sari masih kuat dan selalu membantu Rania.

“Iya, Nek!” jawab Rania riang, lalu masuk dan sarapan. Setelah selesai, ia berpamitan kepada neneknya, “Nek, Rania berangkat dulu ya. Nanti pulang agak sore karena ada rapat guru.”

“Hati-hati di jalan, Nak,” jawab Bu Sari dengan senyum penuh kasih sayang.

Di perjalanan, Rania bertemu dengan beberapa tetangga yang bekerja di sawah. Sesampainya di sekolah, anak-anak menyambutnya dengan senyum dan sapaan hangat.

“Selamat pagi, Bu Rania!” seru anak-anak.

“Selamat pagi, anak-anak. Bagaimana kabar kalian?” tanya Rania sambil tersenyum.

“Baik, Bu!” jawab mereka serempak.

Rania memulai pelajaran dengan semangat, mengajarkan berbagai mata pelajaran dengan metode kreatif. Hari itu, ia mengajarkan tentang pentingnya membaca dan membawa beberapa buku cerita dari perpustakaan kota. Anak-anak sangat antusias mendengarkan cerita.

“Bu Rania, bolehkah kami meminjam buku-buku ini untuk dibaca di rumah?” tanya Dina.

“Tentu saja, Dina. Tapi ingat untuk merawatnya dengan baik,” jawab Rania lembut.

Setelah jam pelajaran selesai, Rania bersiap untuk rapat guru. Ia bertemu dengan Budi, sahabatnya sesama guru

“Rania, kau terlihat bersemangat hari ini,” sapa Budi.

“Anak-anak tadi sangat antusias. Aku senang melihat mereka bersemangat belajar,” jawab Rania.

Rapat guru berlangsung cukup lama. Rania mengusulkan untuk mengadakan kegiatan membaca bersama di luar jam pelajaran.

“Kita bisa mengadakan kegiatan membaca bersama setiap sore,” usul Rania.

Beberapa guru menyambut baik usulan tersebut. Setelah rapat selesai, Rania pulang dengan perasaan puas. Sesampainya di rumah, ia disambut oleh neneknya.

“Bagaimana rapatnya, Nak?” tanya Bu Sari.

“Berjalan lancar, Nek. Kami berencana mengadakan kegiatan membaca bersama setiap sore,” jawab Rania dengan senyum.

“Nenek bangga padamu, Rania. Teruslah berjuang,” kata Bu Sari sambil menggenggam tangan Rania.

Malam itu, Rania duduk di kamarnya, menatap tumpukan buku-buku. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia siap menghadapi segala tantangan. Dengan tekad yang kuat, Rania melanjutkan mimpinya untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anak di desanya.

Pagi berikutnya, udara desa terasa lebih segar. Matahari bersinar terang, menandakan hari yang cerah. Rania bangun lebih awal, semangat membara di dalam dadanya. Hari ini adalah hari pertama pelaksanaan kegiatan membaca bersama.

Rania melangkah keluar rumah dengan tas penuh buku di pundaknya. Di perjalanan, beberapa warga menyapa Rania dengan senyum dan salam hangat.

“Selamat pagi, Bu Rania! Semoga sukses dengan kegiatan hari ini,” sapa Pak Warto, seorang petani.

“Terima kasih, Pak Warto. Semoga semua berjalan lancar,” jawab Rania.

Sesampainya di sekolah, Rania menata buku-buku di meja panjang di halaman sekolah. Anak-anak mulai berdatangan dengan antusias. 

“Anak-anak, hari ini kita akan membaca bersama. Pilih buku yang kalian suka, nanti kita akan berdiskusi tentang cerita itu,” kata Rania semangat. 

Anak-anak berlarian memilih buku. Suasana riuh dengan tawa dan obrolan anak-anak yang penuh kegembiraan. Rania berjalan di antara mereka, membantu anak-anak memilih buku dan memberikan penjelasan singkat. 

“Bu Rania, aku ingin meminjam buku ini. Ceritanya tentang petualangan di hutan,” kata Amir. 

“Tentu saja, Amir. Semoga kamu menikmati ceritanya,” jawab Rania. 

Namun, tidak semua warga desa mendukung kegiatan ini. Beberapa orang tua, termasuk Pak Joko, merasa anak-anak lebih baik membantu di ladang. 

“Rania, aku tidak setuju dengan kegiatan ini. Anak-anak seharusnya membantu orang tua di ladang,” kata Pak Joko. 

Rania mencoba menjelaskan pentingnya pendidikan dan membaca. “Pak Joko, membaca adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik.”

Pak Joko tetap bersikeras. Percakapan itu menarik perhatian beberapa orang tua lain. Budi datang dan mencoba menengahi. 

“Mari kita dengarkan penjelasan Rania dulu. Mungkin ada solusi yang bisa kita temukan bersama,” kata Budi. 

Setelah berdiskusi, mereka mencapai kesepakatan. Anak-anak diizinkan mengikuti kegiatan membaca dengan syarat tetap membantu di ladang di pagi hari. Rania merasa lega dan bersyukur. 

Hari-hari berikutnya, Rania dan Budi bekerja keras mengatur jadwal agar kegiatan membaca berjalan lancar. Anak-anak semakin menikmati kegiatan membaca dan antusias berdiskusi tentang cerita. 

Namun, beberapa buku mulai usang dan rusak. Rania memutuskan mencari bantuan di kota. Di kota, Rania bertemu dengan jurnalis bernama Dina yang menulis artikel tentang perjuangannya. Artikel itu mendapat perhatian luas, dan Rania mulai menerima donasi buku. 

Anak-anak desa semakin antusias mengikuti kegiatan membaca, belajar menulis, dan bercerita. Rania merasa bahagia melihat perubahan yang terjadi di desanya.

Di tengah kesibukan itu, Rania tak lupa merawat neneknya yang semakin lemah. Bu Sari selalu memberikan dukungan moral. 

“Nek, terima kasih untuk semua dukungan nenek. Rania akan terus berjuang untuk masa depan anak-anak di desa ini,” kata Rania suatu malam. 

“Nenek selalu bangga padamu, Rania. Ingatlah, pendidikan adalah cahaya yang akan menerangi jalanmu. Jangan pernah menyerah,” jawab Bu Sari. 

Malam itu, Rania merasa penuh dengan rasa syukur dan tekad yang kuat. Ia berjanji pada dirinya sendiri dan pada neneknya bahwa ia akan terus berjuang, apapun yang terjadi. Cahaya pendidikan yang ia bawa akan terus menerangi desanya. 

Dengan semangat baru, Rania melanjutkan perjuangannya. Ia tahu bahwa jalan yang harus ditempuh masih panjang dan penuh tantangan, tetapi ia percaya bahwa dengan tekad dan cinta, ia bisa mengatasi segala rintangan. Ia melihat masa depan yang cerah di ujung senja, di mana cahaya ilmu pengetahuan akan membawa kebahagiaan dan kemajuan bagi desanya tercinta. 

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat jingga dan merah muda. Suasana desa terasa hangat dengan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Rania berjalan pulang dengan langkah pelan setelah seharian mengajar dan mengurus perpustakaan kecilnya. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Budi yang sedang duduk di bangku kayu di tepi jalan, tampak merenung.

“Budi, kenapa sendirian di sini?” tanya Rania sambil duduk di sebelahnya. 

“Ah, Rania. Aku hanya memikirkan tentang semua yang kita lakukan. Kadang aku merasa, apakah semua ini akan benar-benar membawa perubahan?” jawab Budi dengan wajah penuh kekhawatiran

Rania tersenyum lembut, menepuk bahu sahabatnya. “Budi, tidak ada perjuangan yang sia-sia. Setiap langkah kecil yang kita ambil akan membawa kita lebih dekat ke tujuan. Lihatlah, anakanak sekarang lebih semangat belajar dan membaca. Itu adalah tanda bahwa kita berada di jalan yang benar.” 

Budi mengangguk, meski wajahnya masih menyiratkan keraguan. “Kau benar, Rania. Aku hanya ingin memastikan bahwa semua usaha kita tidak akan sia-sia.”

“Percayalah, Budi. Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Mungkin hasilnya tidak langsung terlihat, tapi suatu saat nanti, kita akan melihat perubahan besar,” kata Rania dengan penuh keyakinan. 

Malam itu, Rania pulang dengan hati yang tenang. Sesampainya di rumah, ia mendapati neneknya sedang duduk di kursi goyang di beranda, menatap langit malam yang penuh bintang. Rania mendekat dan duduk di samping neneknya.

“Nek, apa yang sedang nenek pikirkan?” tanya Rania sambil memandang wajah neneknya yang penuh keriput namun tetap tampak teduh. 

“Nenek hanya merenung, Rania. Mengingat masa lalu dan berharap masa depan yang lebih baik untukmu dan anak-anak di desa ini,” jawab Bu Sari dengan suara lembut. 

“Rania akan terus berjuang, Nek. Demi nenek dan demi masa depan desa ini,” kata Rania dengan mata berkaca-kaca. 

“Rania, ingatlah. Hidup ini penuh dengan liku-liku dan tantangan. Jangan pernah menyerah. Teruslah berjalan, meski jalan itu terasa berat. Nenek selalu mendoakanmu,” kata Bu Sari sambil menggenggam tangan Rania dengan erat.

Kata-kata neneknya selalu menjadi sumber kekuatan bagi Rania. Malam itu, Rania tidur dengan hati yang penuh harapan, siap menghadapi hari-hari berikutnya dengan semangat baru. 

Keesokan harinya, Rania bangun lebih awal. Ia sudah memiliki rencana besar untuk hari itu. Setelah mengajar di sekolah, ia berencana untuk bertemu dengan seorang jurnalis yang tertarik dengan cerita perjuangannya. Dina, jurnalis tersebut, telah menulis artikel tentang Rania dan kegiatan membaca bersama di desa. Artikel itu mendapat respon yang luar biasa, dan banyak orang mulai memberikan dukungan. 

Rania dan Dina bertemu di sebuah kafe kecil di kota. Dina adalah seorang perempuan muda yang penuh semangat dan antusiasme. Ia sangat terkesan dengan perjuangan Rania dan ingin membantu lebih banyak lagi. 

“Rania, artikel yang aku tulis tentangmu mendapat banyak respon positif. Banyak orang yang tergerak dan ingin membantu. Aku juga mendapat tawaran dari beberapa penerbit besar yang ingin menyumbangkan buku-buku untuk perpustakaanmu,” kata Dina dengan mata berbinar. 

“Terima kasih banyak, Dina. Ini adalah berita yang sangat baik. Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan rasa terima kasihku,” jawab Rania dengan penuh haru.

“Tidak perlu berterima kasih padaku, Rania. Aku hanya menuliskan kebenaran tentang perjuanganmu. Kau adalah inspirasiku. Aku ingin terus membantu agar mimpimu terwujud,” kata Dina sambil tersenyum. 

Pertemuan itu memberikan harapan baru bagi Rania. Ia merasa bahwa usahanya tidak sia-sia dan ada banyak orang yang peduli dengan apa yang ia lakukan. Kembali ke desa, Rania membawa kabar baik itu dengan hati yang penuh sukacita. Ia menceritakan semuanya kepada Budi dan beberapa warga desa yang mulai mendukung kegiatannya. 

“Kita akan mendapatkan lebih banyak buku, dan perpustakaan kita akan semakin besar. Ini semua berkat dukungan dari banyak orang,” kata Rania dengan penuh semangat. 

Warga desa mulai melihat hasil nyata dari perjuangan Rania. Anak-anak semakin rajin membaca, dan mereka mulai menunjukkan prestasi yang membanggakan di sekolah. Kegiatan membaca bersama menjadi semakin populer, dan semakin banyak anak yang bergabung. 

Namun, di tengah kebahagiaan itu, tantangan baru muncul. Perpustakaan kecil yang dibangun Rania di rumahnya sudah tidak cukup untuk menampung semua buku yang disumbangkan. Mereka membutuhkan tempat yang lebih besar dan lebih layak. Rania dan Budi memutuskan untuk mengadakan pertemuan dengan para warga desa untuk mencari solusi. 

Pertemuan itu diadakan di balai desa, dihadiri oleh banyak warga yang mulai peduli dengan pendidikan. Rania berdiri di depan, menjelaskan situasi yang mereka hadapi dan pentingnya memiliki perpustakaan yang layak. 

“Kita membutuhkan tempat yang lebih besar untuk perpustakaan. Tempat di rumahku sudah tidak cukup. Kita perlu mencari solusi bersama,” kata Rania dengan suara tegas namun penuh harap. 

Beberapa warga memberikan usulan dan ide. Ada yang mengusulkan untuk menggunakan bangunan lama yang tidak terpakai, ada juga yang menawarkan bantuan tenaga untuk merenovasi tempat tersebut. Diskusi berlangsung hangat, dan akhirnya mereka sepakat untuk menggunakan sebuah bangunan lama yang dulunya adalah gudang penyimpanan. 

Rania merasa sangat bersyukur atas dukungan warga desa. Dengan semangat gotong royong, mereka mulai merenovasi bangunan tersebut menjadi perpustakaan yang layak. Setiap hari, setelah selesai mengajar, Rania dan Budi bersama warga desa bekerja keras membersihkan dan memperbaiki bangunan tersebut. 

Proses renovasi berjalan lancar, meski penuh dengan tantangan. Mereka menghadapi cuaca yang tidak menentu, kekurangan bahan bangunan, dan berbagai kendala lainnya. Namun, semangat kebersamaan dan tekad yang kuat membuat mereka tidak pernah menyerah. 

Selama proses renovasi, Rania sering kali merasa lelah dan kehabisan tenaga. Namun, setiap kali ia melihat anak-anak desa yang penuh semangat belajar, ia kembali menemukan kekuatan. Neneknya yang selalu memberikan dukungan moral juga menjadi sumber inspirasi yang tiada henti.

Suatu sore, setelah seharian bekerja keras, Rania duduk di beranda rumahnya bersama neneknya. Mereka menatap langit yang mulai gelap, dengan bintang-bintang yang mulai bermunculan. 

“Nek, akhirnya perpustakaan itu hampir selesai. Aku tidak pernah menyangka bisa sampai sejauh ini,” kata Rania dengan suara bergetar. 

“Nenek selalu percaya padamu, Rania. Kau adalah cahaya bagi desa ini. Teruslah berjuang, dan jangan pernah berhenti bermimpi,” jawab Bu Sari dengan senyum lembut. 

Hari peresmian perpustakaan pun tiba. Seluruh warga desa berkumpul dengan penuh semangat. Anak-anak, orang tua, dan para guru berkumpul di depan bangunan perpustakaan yang baru saja selesai direnovasi. Suasana penuh kegembiraan dan haru. 

Rania berdiri di depan, bersama Budi dan beberapa tokoh desa. Dengan suara yang bergetar penuh haru, ia mengucapkan terima kasih kepada semua warga yang telah mendukung perjuangannya. 

“Hari ini adalah bukti bahwa dengan kebersamaan dan tekad yang kuat, kita bisa mewujudkan mimpi. Perpustakaan ini adalah milik kita semua, tempat di mana anak-anak kita bisa belajar dan berkembang. Terima kasih atas dukungan dan kerja keras kalian semua,” kata Rania dengan mata berkaca-kaca. 

Seluruh warga bersorak sorai, penuh dengan kebanggaan dan harapan. Mereka memasuki perpustakaan yang baru, melihat-lihat buku-buku yang tertata rapi di rak-rak. Anak-anak berlari-lari dengan gembira, memilih buku-buku yang ingin mereka baca. 

Di tengah keramaian itu, Rania merasa hatinya penuh dengan rasa syukur. Perjalanan yang panjang dan penuh tantangan ini akhirnya membawa hasil. Ia melihat masa depan yang cerah bagi desanya, di mana pendidikan menjadi cahaya yang menerangi jalan mereka. 

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Beberapa minggu kemudian, nenek Rania jatuh sakit. Kesehatannya semakin menurun, dan Rania merasa sangat khawatir. Ia merawat neneknya dengan penuh kasih sayang, sambil tetap menjalankan kegiatan di perpustakaan. 

Suatu malam, saat Rania duduk di samping tempat tidur neneknya, Bu Sari memegang tangan Rania dengan lemah namun penuh kasih sayang. 

“Rania, nenek bangga padamu. Teruslah berjuang untuk pendidikan dan masa depan anak-anak di desa ini. Jangan pernah menyerah, meski jalan itu terasa berat,” kata Bu Sari dengan suara yang semakin lemah. 

“Terima kasih, Nek. Rania berjanji akan terus berjuang, demi nenek dan demi masa depan desa ini,” jawab Rania dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Malam itu, Bu Sari menghembuskan napas terakhirnya dengan tenang. Rania merasa kehilangan yang sangat mendalam, namun ia tahu bahwa neneknya akan selalu menjadi inspirasinya. Dengan tekad yang semakin kuat, Rania melanjutkan perjuangannya, membawa cahaya pendidikan di desanya tercinta.

Share this Post

Facebook Comments ()

Leave a comment