Konvergensi Pandemi COVID-19 Dalam Aspek Sosial-Ekonomi (Analisis Sosiologis)
Belakangan ini, hampir semua diskusi baik yang bersifat ilmiah maupun obrolan ringan menempatkan wabah virus Covid-19 sebagai objek utama. Kita secara masif mendapatkan begitu banyak berita tentang pandemi virus Covid-19 ini yang melahirkan varian topik-topik tentang permasalahan sosial, ekonomi dan budaya yang koheren terhadapnya. Sejak kemunculannya pertama kali di kota Wuhan di Tiongkok sebagai epidemi, Covid-19 kemudian dengan sangat cepat menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan bulan sehingga memaksa WHO menaikkan status penyebaran wabah ini menjadi pandemi. Dengan demikian warga dunia sudah barang tentu harus siap dan beradaptasi dengan kondisi pandemi Covid-19 ini dengan selalu mengikuti skema aturan-aturan yang telah disosialisasikan oleh pemerintah maupun lembaga yang berkompeten.
Dalam perspektif Sosiologi Kesehatan munculnya suatu penyakit menular yang bersifat pandemi akan diikuti dengan disorganisasi sosial, perubahan sosial dan permasalahan sosial. Anne Kerr dalam bukunya yang berjudul “Genetic and Society” a Sociology of Disease” menjelaskan bahwa fenomena wabah penyakit di masyarakat dapat membuat masyarakat mengalami kecemasan (anxiety) dan ketakutan (fear). Sebelum wabah virus Covid-19 masuk dan menyerang kesehatan masyarakat Indonesia, terasa lebih dominan kita diliputi rasa cemas. Hal itu terjadi karena rasa cemas itu sendiri merupakan suatu yang irasional dan objek ketakutan atas masalah virus Covid-19 di Indonesia belum terbukti dan nyata. Namun kondisi kecemasan itu kini telah berubah menjadi ketakutan. Sebab takut merupakan suatu yang rasional, karena sudah memiliki objek ketakutan yang nyata yaitu wabah virus Covid-19 yang teridentifikasi pertama kali di Depok dan kini sudah meluas di berbagai provinsi di negara kita.
Masyarakat adalah suatu organisme yang memiliki massa, serta struktur yang dinamis dan terus berkembang secara komplek dan mempunyai bagian-bagian yang berdiri sendiri dan saling terkait. Jika kita memandang hal ini dalam kaitannya dengan kecemasan dan ketakutan yang diakibatkan oleh wabah Covid-19, maka akan terjadi disorganisasi sosial dimana kegiatan lembaga sosial teganggu. Tidak adanya kepastian dalam struktur hidup bersama berpengaruh pada tatanan sosial. Dalam hal ini pemerintah harus cepat dan sigap untuk mengatasi kecemasan dan ketakutan masyarakat agar disorganisasi sosial tidak terjadi. Pemerintah sebagai agen pengendali sosial harus memainkan peran sebagai regulator dan menggerakan fungsi-fungsi kelembagaan yang terkait untuk bisa mengatasi wabah Covid-19 yang menjadi penyebab kecemasan dan ketakutan masyarakat. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Samuel Smith (1911) yang mencontohkan bagaimana seorang dokter dalam menyembuhkan pasiennya, maka dalam perspektif Sosiologi kesehatan pemerintah harus mempelajari dan kemudian mengatasi masalah sosial yang terjadi.
Bersama kita saksikan saat ini sedang berlangsung dimana wabah Covid-19 yang telah menjadi stimulan penyebab terjadinya disrupsi pada sistem nilai dan norma di masyarakat, munculnya nilai dan norma yang baru dalam organisasi sosial di masyarakat tidak selalu berhasil diadaptasi oleh masyarakat yang cemas dan takut. Begitu banyak peralihan pola perilaku atau kebiasaan lama menuju perilaku yang baru yang tidak jarang menyebabkan ketegangan pada interaksi antar kelompok. Protes warga atas dihentikannya ibadah di tempat ibadah, kisah seorang kapolsek yang dimutasi dari jabatannya karena mengadakan resepsi pernikahan, kegiatan perdangangan yang di shutdown, dan ritual mudik yang dilarang tahun ini adalah sederet kisah-kisah nyata dari pemaparan teoritis di atas.
Selanjutnya, dalam perspektif perubahan sosial, wabah Covid-19 menjadi fenomena khas globalisasi abad 21 dimana interaksi manusia dalam wujud perdagangaan internasional, arus informasi dan teknologi serta mobilitas manusia antar negara dan benua menjadi motornya. Lantas apa kaitan variabel-variabel ini dengan wabah Covid-19 yang sedang kita hadapi saat ini? Sesuai yang telah dinyatakan oleh WHO bahwa pandemi mengacu pada epidemi yang telah menyebar di beberapa negara atau benua dan mempengaruhi sejumlah besar orang. Jika kita hubungkan pernyataan ini dengan konsep globalisasi maka kita akan menyadari bahwa aktivitas globalisasi merupakan saluran-saluran yang sangat efektif dalam mendorong peningkatan penyebaran virus Covid-19 di seluruh dunia. Hal ini selaras dengan pandangan Kenichi Ohmae (1989) yang mendefinisikan globalisasi adalah dunia tanpa batas. Globalisasi mengimplikasikan bahwa pembagian masyarakat yang sebelumnya dipisahkan ruang dan waktu semakin signifikan dan tak relevan lagi. Apa yang terjadi di Wuhan Tiongkok pada akhir 2019 lalu yang kini menjadi pandemi global dan warga dunia membicarakannya. Keterhubungan negara-negara yang begitu masif, mudah dan cepat di berbagai bidang menjadi akselerator.
penyebaran virus Covid-19. Didukung oleh sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk hidup, maka sangat sulit dan hampir mustahil kiranya untuk membendung penyebaran virus ini. Arus mobilitas antar negara melalui kegiatan pariwisata dan bisnis antar negara menjadi penyumbang yang signifikan meskipun pemerintah diberbagai negara telah melakukan pengendalian melalui mekanisme Lockdown, Circuit Breaker dan PSBB. Arus media mainstream dunia seperti CNN, Reuters dan BCC memberitakan wabah Covid-19 ke seluruh dunia yang kemudian direproduksi oleh kantor berita lokal dan akhirnya masyarakat dunia pun membicarakan hal yang sama. Dalam pandangan ini globalisasi berkaitan erat dengan homogenisasi, dimana keragaman kebudayaan, sosial, ekonomi dan politik dihancurkan di sebuah dunia dimana kita semua menyaksikan program TV yang sama, membeli komoditas ekonomi yang sama, memakan makanan yang sama, menggilai bintang film dan bintang olahraga yang sama dan meniru gaya hidup yang sama (Andrew Heywood, 2014; hal 245).
Pada akhirnya wabah Covid-19 yang merupakan masalah kesehatan ini akan mengantarkan kita pada permasalahan ekonomi. Sebagaimana yang kita alami saat ini dimana ekses yang diakibatkan wabah ini telah menghantam sektor ekonomi dunia dan terasa sekali dialami oleh kelas sosial bawah maupun atas. Banyak perusahaan perusahan yang mengalami kerugian bahkan kebangkrutan. Sebut saja raksasa penerbangan Inggris Virgin Atlantic dan Virgin Australia yang sedang di ambang kebangkrutan jika tak mendapatkan bail out dari pemerintah. Di dalam negeri kita tengok Airy, agregator hotel kelas melati di Indonesia ini menutup bisnisnya secara permanen per tanggal 30 Mei 2020 akibat terdampak pandemi Covid-19 secara langsung. Bagaimana kabar kelas menengah? Mereka banyak yang menurunkan standar hidup dan daya belinya. Mereka juga kalangan yang paling banyak mengajukan restrukturisasi hutang atas kredit yang mereka miliki di bank maupun leasing. Lalu kalangan bawah adalah yang paling rentan atas gejolak pandemi Covid-19 ini dimana komposisinya yang tahun 2019 sebesar 24,97 juta (data BPS 2019) adalah yang paling parah karena tanpa serangan wabah ini pun hidup mereka sudah kekurangan. Bahaya kelaparan dan malnutrisi menanti di depan mata mereka. Pemerintah tidak memiliki jalan lain selain memberikan jaminan sosial untuk mereka yang berada di kelas bawah secepatnya.
Menurut pandangan kaum fungsionalis tentang dampak Ekonomi diatas, ketika semua bagian masyarakat seperti keluarga, lembaga pemerintah dan pendidikan gagal atau terganggu fungsinya maka akan terjadi disfungsi sosial yang berakibat terganggunya keteraturan sosial. Realita inilah yang terjadi saat ini dimana telah terjadi penghentian sementara atau pengurangan operasional dan pelayanan lembaga-lembaga di berbagai sektor yang berhubungan pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti penghentian moda transportasi, sekolah dan tempat ibadah. Sedangkan dalam perspektif Teori Konflik, fenomena Covid -19 melahirkan potensi-potensi konflik antara kelas atas dan bawah. Konflik ini terjadi karena situasi yang tidak menentu dan adanya ketidakpastian di masa depan. Mayoritas kelas atas akan lebih melebarkan jarak dengan kelas bawah dengan menumbuhkan prasangka bahwa kelas bawah merupakan kelompok yang bisa membahayakan kondisi kesehatan mereka karena profil habitus mereka yang terstigma tidak higenis. Sikap lainnya lagi, seperti adanya fenomena sosial penolakan pemakaman korban Covid-19 oleh sebagian masyarakat. Sikap ini disebut diskriminasi sosial yang merupakan mutasi dari prasangka yang telah lebih dulu dikembangkan.
Telah sampailah kita pada bahasan terakhir yang akan menyinggung judul tulisan ini yaitu “Konvergensi Pandemi Covid- 19 dalam aspek Sosial-Ekonomi”. Sudah empat bulan terakhir ini publik membicarakan tentang wabah Covid-19 dan rasanya masih akan tetap mendominasi ruang-ruang diskusi dan pemberitaan media hingga bulan Juli. Pemusatan diskusi, obrolan maupun pemberitaan inilah yang penulis maksudkan sebagai konvergensi dimana dari gabungan isu-isu sosial dan ekonomi yang telah penulis paparkan diatas pada akhirnya bermuara pada kata pandemi Covid -19. Pemaparan dan analisa diatas tentunya selaras dengan latar belakang pendidikan penulis yaitu Sosiologi. Melalui tulisan sederhana ini penulis harapkan semoga dapat menjadi triger bagi rekan-rekan semua dan para siswa pembaca untuk menyumbangkan opini dan sudut pandang atas suatu isu sosial berdasarkan disiplin ilmu yang dimiliki. Semoga tidak ada satupun isu sosial yang terlupakan oleh kita karena terjadinya konvergensi pemberitaan tentang Covid-19 yang begitu masif pada ruang publik. Kita bisa memulainya dengan menuliskannya di sini kawan!